Banyak perspektif yang yang menjelaskan bentuk-bentuk kemiskinan. Menurut Jamasy (2004) terdapat empat bentuk kemiskinan yang mana setiap bentuk mempunyai arti tersendiri. Keempat bentuk tersebut yakni kemiskinan diktatorial dan kemiskinan relatif yang melihat kemiskinan dari segi pendapatan, sementara kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural yang melihat kemiskinan dari segi penyebabnya.
1. Kemiskinan diktatorial terjadi apabila tingkat pendapatannya dibawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimun, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diharapkan untuk meningkatkan kapasitas semoga bisa hidup dan bekerja. Kemiskinan jenis ini mengacu pada satu standard yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat /negara. Sebuah teladan dari pengukuran diktatorial yakni persentase dari penduduk yang makan dibawah jumlah yang cukup menopang kebutuhan badan insan (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa). Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan diktatorial sebagai hidup dengan pendapatan dibawah USD $1/hari, dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari. Dengan batasan ini maka diperkiraan pada 2001 terdapat 1,1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari, dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari.
2. Kemiskinan relatif yakni kondisi dimana pendapatannya berada pada posisi di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding pendapatan masyarakat sekitarnya. Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di negara bekembang, ada bukti wacana kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan tempat pinggiran kota.
3. Kemiskinan struktural ialah kondisi atau situasi miskin lantaran imbas kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan. Kemiskinan struktural muncul lantaran ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin sanggup bekerja. Struktur sosial tersebut tidak bisa menghubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini yakni buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak pintar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural yakni pemerintah. Sebab, pemerintah yang mempunyai kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, Kalau pun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan, sehingga tidak ada masyarakat miskin yang ‘naik kelas’. Artinya kalau pada awalanya sebagai buruh, nelayan, pemulung, maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung.
Pada tahun 1970-an dan 1980-an para intelektual mengangkat isu kemiskinan struktural ini. Kemiskinan ini timbul, lantaran ada relasi sosial ekonomi yang membuat kelompok orang tereksklusi dari posisi ekonomi yang lebih baik. Penyebab eksklusi yakni ketergantungan ekonomi pada negara industri maju, struktur perekonomian nasional jatuh pada segelintir orang (kolusi penguasa dan pengusaha) serta politik dan relasi sosial yang tidak demokratis.
Kemiskinan struktural hadir dan muncul bukan lantaran takdir, bukan lantaran kemalasan, atau bukan lantaran karena nasib. Kemiskinan jenis ini muncul dari suatu perjuangan pemiskinan. Suatu perjuangan untuk membuat jurang semakin lebar saja antara yang kaya dengan yang miskin. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang timbul dari adanya relasi struktur yang timpang, yang timbul dari tiadanya suatu relasi yang simetris dan sebangun yang menempatkan insan sebagai obyek. Kemiskinan struktural timbul lantaran adanya hegemoni dan justru lantaran adanya kebijakan negara dan pemerintah atau orang-orang yang berkuasa, sehingga justru orang yang termarjinalkan semakin termarjinalkan saja.
Namun dalam beberapa dasawarsa belakangan ini terjadi kecenderungan fenomena yang berbalik. Beberapa negara berkembang yang penduduknya mengalami kemiskinan struktural, ternyata bisa berdiri dan berkembang untuk merebut pasar global (Rohman, 2010). Pertanyaanya, apakah hal itu membuktikan kemiskinan lantaran faktor struktural tidak ada lagi, dan yang ada faktor kultural serta kurangnya jalan masuk pada kebutuhan dasar? Hal ini secara empiris perlu menerima telaah yang lebih mendalam .
4. Kemiskinan kultural mengacu pada perkara perilaku seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya. Sikap budaya itu, menyerupai tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif, meskipun ada perjuangan dari pihak luar untuk membantunya. Sedangkan, kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai jawaban adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, menyerupai malas, gampang mengalah pada nasib, kurang mempunyai etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini yakni masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, perilaku apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain wacana budaya miskin merupakan imbas domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama. Keadaan menyerupai itu membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan kalau sesuatu yang terjadi yakni takdir. Dalam konteks keagamaan disebut dengan paham jabariah. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.
0 Comments
Post a Comment